By : Raras Mita Pangesti
Topik Pilkada ini sedang ramai dibicarakan di masyarakat dan di berbagai media. Rancangan Undang-Undang yang telah disahkan menjadi Undang-Undang pada Jum’at 26 September 2014 ini masih jadi perbincangan seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat mulai menunjukkan reaksi pro dan kontra terhadap UU ini.
Tim Koalisi Merah Putih yang mengusung Pilkada tak langsung ini memberikan beberapa alasan mengenai dilakukannya pilkada langsung. Pertama, karena besarnya biaya kampanye yang dilakukan oleh para calon pemimpin daerah, maka banyak pemimpin daerah yang tersandung kasus korupsi. Dan yang kedua adalah karena besarnya anggaran negara yang dikeluarkan untuk mengadakan pemilihan ini, maka diusulkan agar pemilihan dilakukan oleh DPR saja. Anggaran negara yang besar itu bisa dialihkan untuk pembangunan di sektor lain, sehingga pembangunan negara bisa dilakukan lebih cepat.
Tetapi, banyak juga tokoh masyarakat yang menolak pilkada tak langsung. Seperti wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, selebriti seperti Pandji Pragiwaksono. Bukan hanya penduduk dari dalam Indonesia, tetapi juga penduduk Indonesia yang berada di luar negeri mulai memunculkan gelombang protes kepada pemerintah Indonesia. Para WNI di New York menolak keras pilkada tak langsung ini karena menganggap bahwa pemilihan tak langsung akan membahayakan demokrasi, dan pemilihan langsung adalah esensi hakiki dari reformasi. Esensi hakiki dari reformasi adalah ketika masyarakat mampu memilih dan mengontrol sendiri pemimpinnya. Pemilihan kepala daerah tak langsung juga belum tentu bisa menjamin akan adanya pemerintahan yang bersih dan efisien, justru akan banyak terjadi jual beli suara di DPR.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siti Noor Laila juga menganggap bahwa pemilihan kepala daerah secara tak langsung itu merupakan kecelakaan hak asasi manusia, dan melanggar hak politik serta hak sipil masyarakat. Hak politik dan hak sipil masyarakat yang telah diberikan pemerintah tidak boleh dikurangi apalagi diambil. Hak politik dan hak sipil yang dimiliki masyarakat tidak boleh mendapat intervensi dari pihak manapun, termasuk negara. Jika negara terlalu banyak mengintervensi hak-hak masyarakat, maka ini akan kembali ke masa otoriter dan ini merupakan sebuah kecelakaan sejarah.
Kedua proses pemilihan ini sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sebenarnya, tidak mempengaruhi proses demokrasi, hanya saja demokrasi yang partisipatif berubah menjadi demokrasi perwakilan. Namun, pertimbangan ini harus dipikirkan secara serius oleh para pejabat tinggi negara dengan mempertimbangkan juga keinginan rakyat. Para wakil rakyat yang ada di DPR juga harus mendengarkan aspirasi rakyat dan mementingkan kepentingan rakyat bukan hanya mementingkan kepentingan partai atau golongan tertentu saja.
Tetapi, kedua opsi ini juga akan melibatkan partisipasi rakyat. Jika pemilihan secara tak langsung memang benar-benar akan dilakukan, kita harus aktif mengontrol DPR mengenai pelaksanaan pemilihan tersebut dan juga harus dijamin bahwa tidak ada politik uang atau justru jual beli suara di dalam DPR. Pemilihan tersebut harus dilakukan secara terbuka sehingga rakyat bisa menyaksikan prosesnya. Dan jika Perppu dari SBY disetujui oleh DPR dan Pilkada kembali dipilih rakyat, rakyat harus mulai belajar menentukan pemimpin siapa yang terbaik, yang memiliki visi misi dan program yang jelas. Bukan pemimpin yang hanya bisa membagi-bagikan uang saja kepada masyarakat. Dan anggaran biaya Pilkada juga harus dikaji ulang agar tidak terlalu besar dan membebankan calon kepala daerah, sehingga praktik korupsi bisa lebih diminimalisir.
Sumber : pemberitaan di www.kompas.com
No comments:
Post a Comment